Contoh Hikayat – Ini juga disebut sebagai prosa lama yang banyak ditemukan dalam bahasa Melayu dan sudah jarang ditemukan lagi saat ini.
Untuk lebih lengkapnya bisa dilihat di: Pengertian Hikayat
Contoh Hikayat
1. Hikayat Hang Tuah
Suatu hari, terdapat papsangan yang bernama Hang Mahmud dan Dang Merdu yang dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Hang Tuah. Keluarga itu tinggal pada suatu desa yang disebut dengan Sungai Duyung. Di daerah tersebut, seluruh warga mengetahui bahwasanya Raja Bintan yang merupakan pemimpin wilayah itu dikenal baik dan juga disegani oleh segenap rakyatnya.
Mahmud akhirnya berkeluh kesah didepan istrinya tersebut untuk dapat diizinkan untuk mengadu nasibnya di Bintan, pikirnya siapa tahu apabila ia disana nasibnnya akan baik. Dan setelah ia berdiskusi dengan sang istri.
Tiba malamnya Mahmud bermimpi terdapat bulan yang turun dari langit dan kemudian bersinar diatas kepala anaknya, yakni Hang Tuah. Mahmud pun terbangun dari tiduenya dan kemudian menemui anaknya dan melihat anaknya memancarkan bau yang sangat wangi. Dan pada pagi hari, keluarga itu akan mengadakan acara syukuran.
Beberapa hari kemudian, Hang Tuah ikut membantu ayahnya untuk membelah sejumlah kayu yang akan dijadikan persediaan. Dan tepat pada saat itu, datanglah sejumlah pemberontak yang berniat untuk membunuh orang yang ada di desa tersebut.
Warga desa pun berlarian dengan panik untuk menyelamatkan dirinya, akan tetapi Hang Tuah masih saja tetap sibuk untuk membelah kayu. Dari kejauhan, ibu dari Hang Tuah berteriak dengan panik dan menyuruhnya untuk pergi agar menyelamatkan diri. Tetapi, sudah terlambat dikarenakan pemberontak tersebut telah berada tepat didepannya.
Dan para pemberontak itu mencoba untuk menusuk perut Hang Tuah dengan keris, tetapi Hang Tuah berhasil menghindarinya. Kemudian ketika terdapat kesempatan, Hang Tuah mengayunkan kapak untuk membelah kayunya tepat di adas kepala pemberontak itu dan kemudian pemberontak itu pun mati.
Berita Hang Tuah yang berhasil mengalahkan seorang pemberontak pun telah tersebar di seluruh negeri. Ia pun lalu diundang kedalam istana oleh raja. Untuk suatu bentuk terimakasihnya, raja sering mengundangnya untuk dapat dapat ke istana dan kemudian menjadi seseorang yang dipercayai oleh raja.
Hal itu pasti membuat sejumlah pegawai dan juga Tumenggung merasa iri terhadapnya. Orang-orang iti itu kemudian bekerjasama dan kemudian memfitnah Hang Tuah. Seorang Tumenggung mengatakan kepada raja bahwasanya Hang Tuah sudah merencanakan pengkhianatannya terdapat kerajaan dan ia juga tengah mendekati seorang gadis yang ada di istana yang bernama Dang Setia.
Setelah mendengar itu, Raja kemudian menjadi marah dan kemudian menyuruh sejumlah pengawalnya untuk membunuh Hang Tuah. Tetapi, Allah melindunginya yang tak bersalah itu sehingga pengawal tak bisa membunuh Hang Tuah. Dikarenakan tak mau meninggalkan masalah lainnya, akhirnya Hang Tuah pun memilih untuk mengasingkan dirinya ke dalam hutan.
2. Hikayat Sri Rama Mencari Sita Dewi
Sita Dewi yang merupakan istri dari Sri Rama menghilang tidak tahu dimana dan kemana. Dan sebagai seorang suami, ia pun pasti merasa kebingungan. Kemudian Sri Rama memutuskan untuk berjalan dan berkelana untuk mencari istrinya dengan dibantu seorang pengawal. Dan kemudian keduanya pun mencari Sita sampai ke dalam hutan.
Didalam hutan, mereka bertemu seekor burung jantan yang sangat sombong dan memiliki 4 istri. Ia pun berbicara dapat menjaga keempat istrinya, dan sedangkan Sri Rama yang menjada 1 orang istri saja tak mampu. Sri Rama merasa tersinggung ketika mendengar hal tersebut, kemudian ia berdoa ke Dewata agar burung itu tak dapat melihat istrinya. Tak lama kemudian, seekor burung itu menjadi buta.
Kemudain, Sri Rama dan juga pengawalnya berkelana lagi dan kemudian bertemu dengan hewa yaitu seekor bangau yang tengah minum tepat ditepi danau. Sri Rama pun kemudian bertanya ke bangau tersebut apakah ia melihat istrinya.
Dan bangau itu pun kemudian menjawab bahwasanya ia melihat bayang dari seorang wanita dibawa terbang oleh Maharaja Rawana. Dan Sri Rama pun merasa senang akhirnya ia bisa mendapatkan suatu petunjuk sampai ia mengabulkan permintaan seekor bangau itu yaitu dapat memanjangkan lehernya agar mudah saat minum.
Ditengah perjalanannya, Rama pun merasa haus. Dan ia melepaskan suatu anak panah yang dapat memandu pengawalnya untuk menemukan mata air. pengawal itu membawakannya ait yang setelah diminum ternyata tak enak dan airnya berbau busuk. Dan kemudian mereka menyusuri sepanjang aliran mata air tersebut dan bertemu seekor burung yang besar dan sedang sekarat, burung tersebut bernama Jentayu.
Rama kemudian bertanya kepadanya apa yang sudah terjadi. Jentayu menceritakan mengenai pertarungannya bersama Rawana, selanjutnya ia memberikan sebuah cincin milik Sita Dewi yang dilempar kepadanya sebelum jatuh ke bumi. Dikarenakan keadaannya yang sangat lemah, jentayu memberikan pesan keapda Rama untuk dapat membakarkan mayatnya ditempat yang tak dihuni oleh manusia. Dan tak lama kemudian, burung itu pun mati.
Rama pun menyuruh pengawalnya untuk mencari suatu tempat yang tak dihuni oleh manusia. Tetapi sayangnya, ia tak menemukan tempatnya. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk membakar burung tersebut ditempat itu dan kemudian nyalalah api yang begitu besar. Karena kesaktiannya tersebut, Rama tak terluka sedikitpun. Setelah api tersebut padam, Rama dan juga pengawalnya kembali untuk melanjutkan mencari istrinya.
3. Hikayat Pengembara yang Lapar
Alkisah, terdapat 3 orang sahabat yang sedang mengembara, yakni Buyung, Kendi dan juga Awang. Selama berada diperjalanannya, ketiga sahat itu membawa bekal makanan seperti susu, buah-buahan, beras, dan juga daging. Apabila mereka lelah, mereka akan berhenti untuk mengisi perut mereka dengan bahan makanan yang dibawanya.
Sampai tepat di suatu hari, mereka berada disuatu hutan yang sangat lebat. Mereka pun merasa lapat, tetapi tak bisa makan karena bekal yang mereka bawa sudah habid. Dan dihutan itu mereka tak bisa menjumpai seseorang yang dapat dimintai pertolongan. Sambil memikirkan suatu solusi, mereka pun kemudian beristirahat dibawah pohon ara yang cukup rindang.
Kendi pun mengatakan, “Apabila ada nasi sekawah, maka aku bisa menghabiskannya sendiri.” Buyung yang juga merasa lapar juga mengucapkan, “Jika lapat begini, maka ayam panggang sebanyak 10 ekor pun mampu aku habiskan.” Tidak seperti teman-temannya, Awang cuma mengharapkan ada nasi sepinggang dan juga lauk yang cukup untuk dapat mengobati perut laparnya.
Dan tak disangka-sangka, apa yang mereka harapkan didengarkan oleh pohon ara yang ajaib itu. Pohon itu menggugurkan 3 daunnya yang tiap-tiap helai daunnya berubah menjadi makanan apa yang mereka inginkan. Buyung dan Kenda merasa sangat senang menemukan makanan itu dan kemudian bergegas untuk menyantapnya.
Awang merasa bersyukur sudah mendapatkan makanannya meskipun tak sebanyak kedua temannya itu, yang terpenting yaitu cukup mengisi perutnya. Ketika selesai makan, Awang memperhatikan dua sahabatnya yang masih makan.
Meskipun telah makan banyak dan juga kekenyangan, Kendi pun tak sanggup menghabiskan jatah makananya itu. Nasi yang ada didalam kawah itu ternyata bisa berbicara dan meminta mereka untuk menghabiskannya. Namun mere sudah tak sanggup lagi, ia tak mau menghabiskannya. Dan kemudian, nasi-nasi itu marah dan kemudian menggigiti tubuh Kendi.
Begitu juga dengan Buyung yang cuma bisa menghabiskan 1 ekos ayam saja, kemudian ia membuang 9 ke dalam semak-semak. Beberapa saat kemudian didalam semak itu muncul 9 ayam jantan dan kemudian menyerangnya.
Pada saat melihat kejadian itu yang menimpa teman-temannya tersebut. Awang tertegung sesaat dan ia merapa seperti di alam mimpi. Tetapi, ketika telah sadar, ia sudah mendapati kedua temannya tersebut meninggal.
4. Hikayat Scheherezade & Raja Shahryar
Disuatu hari, terdapat seorang raja yang kejam yang bernama Shahryar. Tiap harinya, ia menikahi seorang wanita cuma untuk dibunuhnya pada keesokan harinya. Hal tersebut terjadi dikarenakan ia pernah dikhianati oleh istri pertamanya, dan ia pun melampiaskannya kepada wanita lain.
Hal itu lah yang membuat gadis muda yang ada diwalayah kerajaan itu merasa sangat ketakutan. Mereka tak mau menikah dengan raja tersebut apabila ekos harinya mereka bisa kehilangan nyawanya. Tetapi, diantara banyaknya gadis, ada seseorang gadis yang baik hati bernama Scheherezade yang ingin untuk menyelamatkan kaum wanita didesanya. Wanita itu kemudian meminta restu dari sang ayah untuk dapat menikahi sang raja.
Awalnya, ayahnya tak menyetujui maksudnya itu. Ia tak mau kehilangan putri yang ia cintai. Tetapi Scheherezade berhasil untuk meyakimkan sang ayah bahwa ia telah mencari suatu cara agar tak akan berakhir dengan cara mengenaskan seperti istri raja yang sebelumnya. Dengan rasa berat hatinya, ayah Scheherezade pun menyetujui dan menikahkan putrinya itu.
Di malam hari sebelum tidur, Scheherezade pun mengulur waktu agar raja itu tak membunuhnya dengan cara membacakan suatu dongeng. Walaupun ia dihantui dengan perasaan takut, tapi wanita itu pun mulai untuk bercerita dihadapan raja.
Dan tak disangka-sangka, raja ternyata sangat menyukai kisah yang diceritakannya dan menyimak dengan baik. Dan karena asyiknya, raja tak menyadari bahwasanya hari telah pagi dan cerita belum seesai. Dan tak disangka-sangka, mengatakan akan melanjutkan cerita tersebut keesokan harinya dan raja yang dikenal kejam itupun menyetujuinya.
Dimalam berikutnya, Raja sangat antusias untuk mendengarkan kelanjutan dari cerita tersebut. Raja menyimak dengan seksama pa yang sudah dikatakan Scheherezade. Sampai keesokan harinya wanita tersebut pun juga belum menjalani hukumannya untuk dibunuh.
Hal tersebut berlanjut ke malam-malam berikutnya, dan tak terasa telah 1001 hari Scheherezade menceritakan dongeng kepada raja. Sampai sang raja lupa dengan hukuman mati yang ia jatuhkan kepada Scheherezade. Akhirnya, segenap keberanian dari Scheherezade pun berbuah manis, ia bisa menyelamantak wanila lain yang ada diwilayah itu. Dan tidak hanya itu, ia bisa berhasil mengubah sang raja menjadi baik dan mencintai rakyatnya itu.
5. Hikayat Antu Ayek
Alkisah di Sumatera Selatan, terdapat suatu keluarga petani yang hidup sederhana dan tingga si sekitaran aliran sungai. Keluarga itu memiliki seorang anak wanita yang cantik bernama Juani. Tak cuma memiliki wajah yang cantik, badannya pun langsing dan membuat banyak gadis yang lain iri dengannya.
Oleh sebab itu, banyak lelaki tampan yang tertarik kepadanya dan ingin untuk meminangnya. Tetapi, tidak ada satu orang pun yang Juani terima pinangannya dikarenakan ia belum minat untuk menikah. Orang tuanya pun merasakan khawatir kalau anak mereka akan menjadi perawan tua. Tetapi, gadis tersebut dapat meyakitkan kedua orangtuanya bahwa ada pria bias yang sesuai dengan kriterianya akan datang.
Sampai pada suatu hari, daerah itu dilanda kekeringan yang menyebabkan kebin kopi tumpuan keluarganya mengalami gagal panen. Dan kemudian, ayah Juani berhutang terhadap rentenir yang kaya untuk dapat memenuhi biaya hidup sehari-hari sampai dengan panen yang selanjutnya. Dan lama kelamaan, hutang ayahnya makin menumpuk karena tak mampu membayar pada saat ditagih.
Rentenir itu pun mengatakan ia akan menganggap hutang keluarga itu lunas apabila ayah Juani bersedia untuk menikahkan anaknya itu dengan putranya. Dan Juani dengan terpaksa setuju untuk menikah dengan anak rentenir itu. Anaknya itu bernama Bujang Juandan. Walaupun menikah dengan anak yang kaya, tapi itu semua tak membuatnya merasa bahagia. Karena lelaki tersebut menderita penyakit kulit yang tak dapat disembuhkan yang ada di sekujur tubuhnya.
Pada hari pernikahananya, Juani merasa tak sanggup lagi apabila harus meneruskan acara itu. Dan dikepalanya sudah membayangkan ia akan dicemooh orang-orang karena sudah menolak sejumlah lelaki tampandan pada akhirnya ia malah menikah dengan lelaki yang berpenyakitan. Ia pun merasa putus asa dan mengakhiri hidupnya dengan terjun ke sungai yang sangat dalam.
Dan beberapa saat kemudian, keluarganya menyadari yang terjadi. Tetapi semuanya talh terlambat. Keesokan harinya, mayat gadis itu ditemukan sudah tak bernyawa. Dan konon, sejak kematiannya, di sungai itu terdengan suara dari seorang gadis yang meminta tolong dan menangis.
6. Hikayat Bayan yang Budiman
Alkisah di kerajaan Azzam, hiduplah seorang saudagar yang kaya raya dan telah berkeluarga yang bernama Khojan Mubarok. Keluarga itu belum lengkap karena belum mempunyai seorang anak. Walaupun begitu saudagar itu tak putus asa dan juga tak lelah memanjatkan doa agar ia segera mendapatkan anak.
Penantiannya yang panjang itu pun berakhir, karena istrinya sudah mengandung dan juga melahirkan seorang bayi berjenis kelamin laki-laki dan memiliki nama Khojan Maimun. Anak itu pun tumbuh menjadi seorang anak yang baik dan juga soleh. Di usianya yang sudah 15 tahun, anak itu kemudian dinikahkan dengan seseorang yang bernama Bibi Zainab, ia merupakan anak dari seorang saudagar yang kaya.
Dan pada suatu saat, Maimun meminta izin ke istrinya dengan tujuan berlayar. Dan sebelum berlayar, ia membelikan seekor burung Bayan yang berjenis kelamin jantan dan juga burung tiung yang berjenis kelamin betina. Dan ia pun berpesan ke istrinya apabila ia menghadapi suatu masalah sebaiknya ia membicarakannya kepada kedua burung tersebut.
Dan beberapa hari kemudian ketika ia sudah ditinggal suaminya, Bibi Zainab pun merasakan kesepian. Sampai pada suatu hari datang seorang anak dari raja yang jatuh hati kepada kecantikannya dan anak tersebut pun mendekatinya. lelaki itu kemudian meminta seorang perempuan tua untuk membantunya berkenalan dengan Bibi Zainab. Dan ternyata Bibi Zainab pun juga tertarik kepada lelaki tersebut dan mereka pun saling jatuh cinta.
Di suatu malam Bibi zainab pun pergi dengan anak tersebut dan ia berpamitan kepada burung tiung. Burung itu kemudian menasehatinya agar tak pergi dikarenakan hal itu melanggar aturan dan Ia juga sudah mempunyai seorang suami. Setelah mendengarkan itu, Bibi zainab pun marah dan kemudian membantingkan sangkar dari burung tersebut sehingga membuat burung tersebut mati.
Dan Bibi zainab pun melihat burung bayan yang tengah tertidur. Tetapi nyatanya burung tersebut hanya berpura-pura tidur dikarenakan apabila ia memberikan suatu jawaban yang sama, maka nyawanya juga ikut terancam.
Pada saat zainab berpamitan kepada burung bayan, maka burung tersebut mengatakan, “Kamu boleh pergi, dan bergegaslah karena anak tersebut sudah menunggumu lama. Apa yang telah kamu lakukan, aku yang akan menanggung semuanya. Apa yang dicari manusia yang ada di dunia ini selain dsri kesabaran, martabat dan juga kekayaan? Aku hanya seekor burung bayan yang sudah dicabut bulunya oleh istri pemilikku.”
Dan malam berikutnya Bibi zainab pun sering pergi untuk bertemu dengan pemuda tersebut. Di tiap kali ia berpamitan burung tersebut menceritakan suatu kisah. Dan kemudian Bibi Zainab merasa menyesal atas perbuatannya dan tak akan mengulangi perbuatannya itu lagi
7. Hikayat Putri Kemuning
Pada suatu hari hidup seorang raja yang terkenal dengan sifatnya yang bijaksana dan adil. Raja itu memiliki 10 orang putri yang sangat cantik. Anak-anaknya memiliki nama yang berdasarkan dari nama warna, dari nama putri sulung yang pertama yaitu Putri Jambon, selanjutnya Putri Nila, Jingga, Ungu, hijau, biru, kelabu, merah merona ,oranye dan putrinya yang terakhir yaitu bernama Putri kuning.
Tetapi kebahagiaan itu pun kurang lengkap dikarenakan istrinya meninggal pada saat melahirkan Putri kuning. Dan dikarenakan sibuk mengurusi kerajaannya, Raja itu pun semakin jarang bertemu dengan putri-putrinya. Kesepuluh putrinya tersebut dirawat oleh seorang Inang pengasuh dan kemudian mereka tumbuh besar menjadi anak yang sangat manja dan selalu bertengkar. Dan dari anak-anaknya itu hanya putri bungsu yang tak pernah terlibat di pertengkaran kakak-kakaknya dan ia lebih senang ketika bermain sendiri.
Pada suatu saat Raja ingin berpergian “Ayah akan pergi tak lama lagi, apa kalian ingin sesuatu?” tanya raja tersebut. Sembilan anaknya pun sibuk menyebutkan berbagai barang mahal. Contohnya seperti kain sutra dan juga perhiasan.
Tetapi berbeda dengan saudaranya yang lain Putri kuning pun menjawab “Aku tak mau apa apa. Aku cuma ingin ayah kembali dengan sehat dan juga selamat”. Raja itu pun tersenyum kepada anaknya mendengar putrinya tersebut.
Dan selama raja tersebut pergi kelakuan dari ke-9 putrinya semakin menjadi. Mereka hanya bersenang-senang dan kemudian menyuruh para pelayannya dengan seenaknya saja. Sedangkan petir kuning merusak sangat sedih ketika melihat taman di lokasi kesayangan ayahnya menjadi kotor dikarenakan para pelayan sibuk untuk mengurusi kakak-kakaknya tersebut.
Ia kemudian membersihkan taman tersebut. Dan ketika melihat itu, kakak-kakaknya tidak membantu tetapi mengejeknya dengan mengatainya dengan sebutan seorang pelayan baru. Dan bahkan mereka pun tak segan untuk melempari Putri kuning sampah dan mengotori tempat itu. Sehingga membuat Putri kuning harus membersihkannya lagi.
Esok harinya, Raja pun pulang dan memberikan hadiah untuk anak-anaknya. Meskipun tak meminta satu barang pun, Putri kuning tetap mendapatkan sebuah hadiah, yakni sebuah kalung yang berwarna hijau dan sangat cantik. Melihat itu putri hijau pun merasa iri kepada putri kuning dan kemudian ia menghasut saudaranya tersebut dan mengatakan kalau Putri kuning mencuri kalung itu dari saku ayahnya.
Mereka pun berniat untuk memberikan suatu pelajaran terhadap Putri kuning karena sudah merampas kalung tersebut. Dan ketika merebutnya secara paksa mereka tak sengaja memukul bagian kepalanya dan kemudian menyebabkan Putri kuning meninggal dunia. Mereka semua pun panik dan kemudian menguburkan Putri kuning di taman. Dan tak ada satupun orang yang berani buka mulut tentang peristiwa tersebut.
Sudah berbulan-bulan raja tersebut mencari putri kuning, tetapi ia tak menemukannya. Dan pada suatu saat diatas pusara Putri kuning ditumbuhi suatu tanaman yang berwarna kuning dan memancarkan aroma harum. Raja tersebut merawat tanaman itu dan menamainya dengan nama Kemuning.
8. Hikayat Dua Orang Ibu
Alkisah, seorang hakim pengadilan kebingungan oleh dua orang ibu yang sedang merebutkan seorang bayi. Hal tersebut disebabkan karena keduanya memiliki bukti yang sangat kuat. Hakim tersebut tak mengetahui bagaimana caranya untuk menentukan serta memutuskan siapa ibu kandung bayi tersebut. Dan pada akhirnya ia pergi ke hadapan Raja Harun Al Rasyid untuk meminta suatu bantuan agar kasus itu tak berlarut lama untuk diselesaikan.
Raja tersebut kemudian turun tangan untuk menyelesaikan masalah itu. Tetapi beliau merasa putus asa oleh kedua orang ibu tersebut. Kedua Ibu tersebut tetap keras kepala dan juga menginginkan bayi tersebut.
Selanjutnya Raja pun memanggil Abu Nawas. Abu Nawas merupakan orang yang cerdik. Ia dipanggil Raja untuk datang ke istana. Dan setelah Abu Nawas mengetahui permasalahannya, ia pun mencari cara bagaimana nasib dari bayi tersebut agar tak terlunta-lunta dan dapat bersama dengan ibu kandungnya lagi.
Esok harinya Abu Nawas pun pergi ke pengadilan dan ia membawa seorang algojo. Abu Nawas itu pun menyuruh algojo tersebut untuk meletakkan bayi yang diperebutkan tersebut ke atas suatu meja. “Apa yang sedang kamu lakukan dengan bayi itu?.” Kedua Ibu tersebut bertanya secara bersamaan.
“Nah sebelum aku menjawab pertanyaanmu, aku akan bertanya kepada kalian sekali lagi. Siapakah di antara kalian yang ingin atau bersedia untuk menyerahkan bayi tersebut kepada ibu kandungnya yang asli?.” begitu kata Abu Nawas.
“Tetapi bayi tersebut adalah anakku.” kedua ibu itu pun menjawab dengan serempak.
“Baik jika begitu, dikarenakan kalian berdua sama-sama ingin bayi ini maka secara terpaksa aku akan membelah bayi ini menjadi dua” jawab Abu Nawas.
Mendengar hal tersebut, ibu yang pertama merasa sangat bahagia dan langsung menyetujui saran itu. Sedangkan ibu yang kedua merasa sangat sedih dan menangis histeris dan ia pun memohon kepada Abu Nawas agar tak melakukan hal itu. “Kumohon jangan belah bayi tersebut, serahkan aja bayi tersebut kepada wanita itu. Aku merelakannya asalkan Iya bisa tetap hidup.” tangis wanita itu.
Abu Nawas sangat puas mendengar kedua jawaban dari kedua Ibu tersebut. Dengan begitu, ia segera mengetahui siapa ibu kandung dari bayi tersebut. Kemudian ia menyerahkan bayi tersebut kepada perempuan kedua, yakni ibu kandungnya.
Dan kemudian, Abu meminta pengadilan untuk menghukum wanita yang pertama atas kejahatannya. Hal tersebut disebabkan karena tak ada seorang ibu yang tega untuk melihat anaknya dibunuh terlebih dibunuh di depannya. Masalah itu pun selesai dengan baik dan akhirnya bayi tersebut bisa bersatu kembali bersama ibu kandungnya.
9. Hikayat Malim Deman dan Bidadari
Alkisah, hidup seorang pemuda yang sudah yatim piatu yang bernama Malim Deman. Agar ia dapat bertahan hidup, Ia pun bekerja diladang kepunyaan pamannya yang lokasinya berada di pinggir hutan. Dan tak jauh dari tempat itu terdapat suatu rumah yang dihuni seorang janda tua yang bernama Mandeh rubiah.
Wanita tersebut yaitu wanita yang baik dan juga akrab dengan malim. Ia sering memasakkan Malim makanan saat malim menjaga ladang Paman nya di malam hari. Bahkan malim juga sudah dianggap oleh wanita itu sebagai anaknya sendiri.
Dan di suatu malam Malim Deman pun merasa haus ketika ia sedang menjaga ladang Paman nya. Ia pun berniat untuk meminta air minum dan ia pun meminta ke rumah Mandeh. Sampai tepat di pekarangan, Ia pun mendengar suara sejumlah perempuan yang berada tak jauh dari kolam yang posisinya tepat di belakang pondok janda tersebut.
Malim dengan diam-diam menuju ke tempat tersebut dan ia terkejut ketika melihat 7 Bidadari tengah mandi di sana. Malim pun sangat terpesona ketika melihat kecantikan dari bidadari-bidadari tersebut.
Dan tidak jauh dari tempat Malin berdiri, ia melihat ada 7 selendang. Dan selendang tersebut milik bidadari-bidadari itu. Ia pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu, dan kemudian ia mengambil salah satu dari selendang milik bidadari itu. Dan iapun menyembunyikan selendang tersebut di rumah ibu angkatnya. Dan ternyata selendang yang ia ambil merupakan Bidadari bungsu.
Bidadari bungsu itu terus menangis dikarenakan tak bisa kembali ke Kayangan. Melihat hal tersebut, Malim pun kemudian mendekati dan mengajaknya untuk tinggal di rumah Mandeh. Bidadari tersebut pun kemudian diangkat oleh Mandeh sebagai anaknya.
Pada saat itu malim pun semakin sering mengunjungi rumah Mandeh dan ia menjadi sangat dekat dengan Putri tersebut. Dikarenakan sering bertemu, mereka saling jatuh jatuh cinta dan kemudian mereka menikah. Kebahagiaan mereka pun semakin bertambah ketika mereka sudah dikaruniai seorang Putra yang sangat tampan dan bernama Sultan Duano.
Tetapi kebahagiaan mereka itu tak berlangsung lama dikarenakan Malim sangat gemar berjudi. Ia juga sering tak pulang selama berhari-hari. Nasihat dari istrinya itu pun tak didengarkannya. Karena melihat kelakuan suaminya itu, putri bungsu sudah tak tahan lagi dan cuma bisa menangis dan kemudian rindu dengan rumahnya yang ada di kayangan.
Pada suatu saat ketika ia mencari barang, putri bungsu tak sengaja menumbuhkan selendang yang dicuri Malim. Putri bungsu pun dengan segera menyuruh seseorang untuk memanggil Malim dengan ancaman, jika ia masih ingin melihat anak dan istrinya berada di rumah, maka ia harus segera pulang. Dan kenyataannya malim pun tak kunjung datang.
Pada akhirnya putri bungsu memutuskan kembali ke Kayangan dan serta membawa anak lelakinya tanpa memberitahu sang suami. Sedangkan di bumi malim kembali ke rumahnya dengan perasaan yang sangat menyesal karena telah tak melihat anak dan istrinya lagi di rumah.
10. Hikayat Seorang Lelaki dan Rumah Sempit
Alkisah terdapat seorang lelaki yang datang ke rumah Abu Nawas. Pria tersebut ingin mengeluh kepadanya tentang masalah yang tengah dihadapinya. Ia pun merasakan sedih dikarenakan rumahnya sangat terasa sempit ketika ditinggali oleh banyak orang.
“Wahai Abu Nawas, Saya mempunyai seorang istri dan juga 8 orang anak tetapi rumah saya sangat sempit. Setiap harinya mereka mengeluh dan juga tidak nyaman tinggal di rumah itu. Kami pun ingin pindah dari rumah tersebut, tetapi kami tidak memiliki uang. Jadi tolonglah katakan kepadaku apa yang bisa aku lakukan,” tanyanya.
Mendengar pertanyaan lelaki yang sangat sedih tersebut, Abu Nawas pun berpikir sejenak. Dan tak berapa lama kemudian suatu ide lewat di kepalanya.
“Kamu memiliki domba di rumahmu?” Abu Nawas bertanya kepada lelaki tersebut. “Aku tidak menaiki domba maka dari itu aku tak mempunyainya.” jawab lelaki tersebut. Kemudian ketika mendengar jawabannya itu, Abu Nawas pun meminta lelaki itu untuk membeli seekor domba dan menyuruhnya agar menaruhnya di rumah.
Lelaki tersebut kemudian mengikuti usulan dari Abu Nawas dan ia pun pergi untuk membeli domba. Esok harinya, ia pun datang lagi ke rumah Abu Nawas. “Abu Nawas, bagaimana ni? Nyatanya rumahku sekarang semakin sempit dan juga berantakan”.
“Ya sudah kalau begitu kamu cobalah membeli 2 ekor domba lagi dan kamu dapat memiliharanya di rumahmu juga”. jawab Abu Nawas.
Dan kemudian pria itu itupun pergi kepasar dan juga ia membeli 2 ekor domba lagi. Tetapi hasilnya tak sesuai dengan harapannya karena rumahnya semakin terasa sempit.
Dengan sangat jengkel nya, Ia pun pergi menghadap Abu Nawas lagi untuk mengadukan masalah itu untuk yang ketiga kalinya. Ia pun menceritakan segala apa yang sudah terjadi, termasuk tentang istrinya yang menjadi marah-marah dikarenakan domba itu. Dan kemudian Abu Nawas menyarankan untuk menjualkan semua domba yang ia miliki.
Esok harinya, Abu Nawas dan lelaki tersebut bertemu lagi. Dan Abu Nawas menanyakannya “Bagaimana rumahmu sekarang? sudah merasa lega?”.
“Dan setelah aku menjual domba tersebut rumahku menjadi nyaman ketika di tinggali. istriku pun sudah tak lagi marah-marah” jawab lelaki tersebut seraya tersenyum. Dan pada akhirnya Abu Nawas bisa menyelesaikan masalah lelaki tersebut.
11. Hikayat Si Miskin
Karena sumpah Batara Indera, seorang raja keinderaan beserta permaisurinya bibuang dari keinderaan sehingga sengsara hidupnya. Itulah sebabnya kemudian ia dikenal sebagai si Miskin.
Si Miskin laki-bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing itu berjalan mencari rezeki berkeliling di Negeri Antah Berantah di bawah pemerintahan Maharaja Indera Dewa. Ke mana mereka pergi selalu diburu dan diusir oleh penduduk secara beramai-ramai dengan disertai penganiayaan sehingga bengkak-bengkak dan berdarah-darah tubuhnya. Sepanjang perjalanan menangislah si Miskin berdua itu dengan sangat lapar dan dahaganya. Waktu malam tidur di hutan, siangnya berjalan mencari rezeki. Demikian seterusnya.
Ketika isterinya mengandung tiga bulan, ia menginginkan makan mangga yang ada di taman raja. Si Miskin menyatakan keberatannya untuk menuruti keinginan isterinya itu, tetapi istri itu makin menjadi-jadi menangisnya. Maka berkatalah si Miskin, “Diamlah. Tuan jangan menangis. Biar Kakanda pergi mencari buah mempelam itu. Jikalau dapat, Kakanda berikan kepada tuan.”
Si Miskin pergi ke pasar, pulangnya membawa mempelam dan makanan-makanan yang lain. Setelah ditolak oleh isterinya, dengan hati yang sebal dan penuh ketakutan, pergilah si Miskin menghadap raja memohon mempelam. Setelah diperolehnya setangkai mangga, pulanglah ia segera. Isterinya menyambut dengan tertawa-tawa dan terus dimakannya mangga itu.
Setelah genap bulannya kandunga itu, lahirlah anaknya yang pertama laki-laki bernama Marakarmah (=anak di dalam kesukaran) dan diasuhnya dengan penuh kasih saying.
Ketika menggali tanah untuk keperluan membuat teratak sebagai tempat tinggal, didapatnya sebuah tajau yang penuh berisi emas yang tidak akan habis untuk berbelanja sampai kepada anak cucunya. Dengan takdir Allah terdirilah di situ sebuah kerajaan yang komplet perlengkapannya. Si Miskin lalu berganti nama Maharaja Indera Angkasa dan isterinya bernama Tuan Puteri Ratna Dewi. Negerinya diberi nama Puspa Sari. Tidak lama kemudian, lahirlah anaknya yang kedua, perempuan, bernama Nila Kesuma.
Maharaja Indera Angkasa terlalu adil dan pemurah sehingga memasyurkan kerajaan Puspa Sari dan menjadikan iri hati bagi Maharaja Indera Dewa di negeri Antah Berantah.
Ketika Maharaja Indera Angkasa akan mengetahui pertunangan putra-putrinya, dicarinya ahli-ahli nujum dari Negeri Antah Berantah.
Atas bujukan jahat dari raja Antah Berantah, oleh para ahli nujum itu dikatakan bahwa Marakarmah dan Nila Kesuma itu kelak hanyalah akan mendatangkan celaka saja bagi orangtuanya.
Ramalan palsu para ahli nujum itu menyedihkan hati Maharaja Indera Angkasa. Maka, dengan hati yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi selama-lamanya putra-putrinya itu.
Tidak lama kemudian sepeninggal putra-putrinya itu, Negeri Puspa Sari musnah terbakar.
Sesampai di tengah hutan, Marakarmah dan Nila Kesuma berlindung di bawah pohon beringin. Ditangkapnya seekor burung untuk dimakan. Waktu mencari api ke kampung, karena disangka mencuri, Marakarmah dipukuli orang banyak, kemudian dilemparkan ke laut. Nila Kesuma ditemu oleh Raja Mengindera Sari, putera mahkota dari Palinggam Cahaya, yang pada akhirnya menjadi isteri putera mahkota itu dan bernama Mayang Mengurai.
Akan nasib Marakarmah di lautan, teruslah dia hanyut dan akhirnya terdampar di pangkalan raksasa yang menawan Cahaya Chairani (anak raja Cina) yang setelah gemuk akan dimakan. Waktu Cahaya Chairani berjalan –jalan di tepi pantai, dijumpainya Marakarmah dalam keadaan terikat tubuhnya. Dilepaskan tali-tali dan diajaknya pulang. Marakarmah dan Cahaya Chairani berusaha lari dari tempat raksasa dengan menumpang sebuah kapal. Timbul birahi nahkoda kapal itu kepada Cahaya Chairani, maka didorongnya Marakarmah ke laut, yang seterusnya ditelan oleh ikan nun yang membuntuti kapal itu menuju ke Palinggam Cahaya. Kemudian, ikan nun terdampar di dekat rumah Nenek Kebayan yang kemudian terus membelah perut ikan nun itu dengan daun padi karena mendapat petunjuk dari burung Rajawali, sampai Marakarmah dapat keluar dengan tak bercela.
Kemudian, Marakarmah menjadi anak angkat Nenek Kebayan yang kehidupannya berjual bunga. Marakarmah selalu menolak menggubah bunga. Alasannya, gubahan bunga Marakarmah dikenal oleh Cahaya Chairani, yang menjadi sebab dapat bertemu kembali antara suami-isteri itu.
Karena cerita Nenek Kebayan mengenai putera Raja Mangindera Sari menemukan seorang puteri di bawah pohon beringin yang sedang menangkap burung, tahulah Marakarmah bahwa puteri tersebut adiknya sendiri, maka ditemuinyalah. Nahkoda kapal yang jahat itu dibunuhnya.
Selanjutnya, Marakarmah mencari ayah bundanya yang telah jatuh miskin kembali. Dengan kesaktiannya diciptakannya kembali Kerajaan Puspa Sari dengan segala perlengkapannya seperti dahulu kala.
Negeri Antah Berantah dikalahkan oleh Marakarmah, yang kemudian dirajai oleh Raja Bujangga Indera (saudara Cahaya Chairani).
Akhirnya, Marakarmah pergi ke negeri mertuanya yang bernama Maharaja Malai Kisna di Mercu Indera dan menggantikan mertuanya itu menjadi Sultan Mangindera Sari menjadi raja di Palinggam Cahaya. (Sumber:Peristiwa Sastra Melayu Lama)
12. Hikayat Amir
Dahulu kala di Sumatra, hiduplah seorang saudagar yang bernama Syah Alam. Syah Alam mempunyai seorang anak bernama Amir. Amir tidak uangnya dengan baik. Setiap hari dia membelanjakan uang yang diberi ayahnya. Karena sayangnya pada Amir, Syah Alam tidak pernah memarahinya. Syah Alam hanya bisa mengelus dada.
Lama-kelamaan Syah Alam jatuh sakit. Semakin hari sakitnya semakin parah. Banyak uang yang dikeluarkan untuk pengobatan, tetapi tidak kunjung sembuh. Akhirnya mereka jatuh miskin.
Penyakit Syah Alam semakin parah. Sebelum meninggal, Syah Alam berkata”Amir, Ayah tidak bisa memberikan apa-apa lagi padamu. Engkau harus bisa membangun usaha lagi seperti Ayah dulu. Jangan kau gunakan waktumu sia-sia. Bekerjalah yang giat, pergi dari rumah.Usahakan engkau terlihat oleh bulan, jangan terlihat oleh matahari.”
”Ya, Ayah. Aku akan turuti nasihatmu.”
Sesaat setelah Syah Amir meninggal, ibu Amir juga sakit parah dan akhirnya meninggal. Sejak itu Amir bertekad untuk mencari pekerjaan. Ia teringat nasihat ayahnya agar tidak terlihat matahari, tetapi terlihat bulan. Oleh sebab itu, kemana-mana ia selalu memakai payung.
Pada suatu hari, Amir bertmu dengan Nasrudin, seorang menteri yang pandai. Nasarudin sangat heran dengan pemuda yang selalu memakai payung itu. Nasarudin bertanya kenapa dia berbuat demikian.
Amir bercerita alasannya berbuat demikian. Nasarudin tertawa. Nasarudin berujar, ” Begini, ya., Amir. Bukan begitu maksud pesan ayahmu dulu. Akan tetapi, pergilah sebelum matahari terbit dan pulanglah sebelum malam. Jadi, tidak mengapa engkau terkena sinar matahari. ”
Setelah memberi nasihat, Nasarudin pun memberi pijaman uang kepada Amir. Amir disuruhnya berdagang sebagaimana dilakukan ayahnya dulu.
Amir lalu berjualan makanan dan minuman. Ia berjualan siang dan malam.Pada siang hari, Amir menjajakan makanan, seperti nasi kapau, lemang, dan es limau. Malam harinya ia berjualan martabak, sekoteng, dan nasi goreng. Lama-kelamaan usaha Amir semakin maju. Sejak it, Amir menjadi saudagar kaya.
13. Hikayat Burung Cenderawasih
Sahibul hikayat telah diriwayatkan dalam Kitab Tajul Muluk, mengisahkan seekor burung yang bergelar burung cenderawasih. Adapun asal usulnya bermula dari kayangan. Menurut kebanyakan orang lama yang arif mengatakan ianya berasal dari syurga dan selalu berdamping dengan para wali. Memiliki kepala seperti kuning keemasan. Dengan empat sayap yang tiada taranya. Akan kelihatan sangat jelas sekiranya bersayap penuh adanya. Sesuatu yang sangat nyata perbezaannya adalah dua antena atau ekor ‘areil‘ yang panjang di ekor belakang. Barangsiapa yang melihatnya pastilah terpegun dan takjub akan keindahan dan kepelikan burung cenderawasih.
Amatlah jarang sekali orang memiliki burung cenderawasih. Ini kerana burung ini bukanlah berasal dari bumi ini. Umum mengetahui bahawa burung Cenderawasih ini hanya dimiliki oleh kaum kerabat istana saja. Hatta mengikut sejarah, kebanyakan kerabat-kerabat istana Melayu mempunyai burung cenderawasih. Mayoritas para peniaga yang ditemui mengatakan ia membawa tuah yang hebat.
Syahdan dinyatakan lagi dalam beberapa kitab Melayu lama, sekiranya burung cenderawasih turun ke bumi nescaya akan berakhirlah hayatnya. Dalam kata lain burung cenderawasih akan mati sekiranya menjejak kaki ke bumi. Namun yang pelik lagi ajaibnya, burung cenderawasih ini tidak lenyap seperti bangkai binatang yang lain. Ini kerana ia dikatakan hanya makan embun syurga sebagai makanannya. Malahan ia mengeluarkan bau atau wangian yang sukar untuk diperkatakan. Burung cenderawasih mati dalam pelbagai keadaan. Ada yang mati dalam keadaan terbang, ada yang mati dalam keadaan istirahat dan ada yang mati dalam keadaan tidur.
Walau bagaimanapun, Melayu Antique telah menjalankan kajian secara rapi untuk menerima hakikat sebenar mengenai BURUNG CENDERAWASIH ini. Mengikut kajian ilmu pengetahuan yang dijalankan, burung ini lebih terkenal di kalangan penduduk nusantara dengan panggilan Burung Cenderawasih. Bagi kalangan masyarakat China pula, burung ini dipanggil sebagai Burung Phoenix yang banyak dikaitkan dengan kalangan kerabat istana Maharaja China.
Bagi kalangan penduduk Eropah, burung ini lebih terkenal dengan panggilan ‘Bird of Paradise‘. Secara faktanya, asal usul burung ini gagal ditemui atau didapathingga sekarang. Tiada bukti yang menunjukkan ianya berasal dari alam nyata ini. Namun satu lagi fakta yang perlu diterima, burung cenderawasih turun ke bumi hanya di IRIAN JAYA (Papua sekarang), Indonesia saja. Tetapi yang pelik namun satu kebenaran burung ini hanya turun seekor saja dalam waktu tujuh tahun. Dan ia turun untuk mati. Sesiapa yang menjumpainya adalah satu tuah. Oleh itu, kebanyakan burung cenderawasih yang anda saksikan mungkin berumur lebih dari 10 tahun, 100 tahun atau sebagainya. Kebanyakkannya sudah beberapa generasi yang mewarisi burung ini.
Telah dinyatakan dalam kitab Tajul Muluk bahawa burung cenderawasih mempunyai pelbagai kelebihan. Seluruh badannya daripada dalam isi perut sehinggalah bulunya mempunyai khasiat yang misteri. Kebanyakannya digunakan untuk perubatan. Namun ramai yang memburunya kerana ‘tuahnya’. Burung cenderawasih digunakan sebagai ‘pelaris’. Baik untuk pelaris diri atau perniagaan. Sekiranya seseorang memiliki bulu burung cenderawasih sahaja pun sudah cukup untuk dijadikan sebagai pelaris. Mengikut ramai orang yang ditemui memakainya sebagai pelaris menyatakan, bulu burung cenderawasih ini merupakan pelaris yang paling besar. Hanya orang yang memilikinya yang tahu akan kelebihannya ini. Namun yang pasti burung cenderawasih bukannya calang-calang burung. Penuh dengan keunikan, misteri, ajaib, tuah.
14. Hikayat Pengembara Yang Lapar
Tersebutlah kisah tiga orang sahabat, Kendi, Buyung dan Awang yang sedang mengembara. Mereka membawa bekalan makanan seperti beras, daging, susu dan buah-buahan. Apabila penat berjalan mereka berhenti dan memasak makanan. Jika bertemu kampung, mereka akan singgah membeli makanan untuk dibuat bekal dalam perjalanan.
Pada suatu hari, mereka tiba di kawasan hutan tebal. Di kawasan itu mereka tidak bertemu dusun atau kampung. Mereka berhenti dan berehat di bawah sebatang pokok ara yang rendang. Bekalan makanan pula telah habis. Ketiga-tiga sahabat ini berasa sangat lapar,
“Hai, kalau ada nasi sekawah, aku akan habiskan seorang,” tiba-tiba Kendi mengeluh. Dia mengurut-ngurut perutnya yang lapar. Badannya disandarkan ke perdu pokok ara.
“Kalau lapar begini, ayam panggang sepuluh ekor pun sanggup aku habiskan,” kata Buyung pula.
“Janganlah kamu berdua tamak sangat dan bercakap besar pula. Aku pun lapar juga. Bagi aku, kalau ada nasi sepinggan sudah cukup,” Awang bersuara.
Kendi dan Buyung tertawa mendengar kata-kata Awang.
“Dengan nasi sepinggan, mana boleh kenyang? Perut kita tersangatlah lapar!” ejek Kendi. Buyung mengangguk tanda bersetuju dengan pendapat Kendi.
Perbualan mereka didengar oleh pokok ara. Pokok itu bersimpati apabila mendengar keluhan ketiga-tiga pengembara tersebut lalu menggugurkan tiga helai daun.
Bubb! Kendi, Buyung dan Awang terdengar bunyi seperti benda terjatuh. Mereka segera mencari benda tersebut dicelah-celah semak. Masing-masing menuju ke arah yang berlainan.
“Eh,ada nasi sekawah!” Kendi menjerit kehairanan. Dia menghadap sekawah nasi yang masih berwap. Tanpa berfikir panjang lalu dia menyuap nasi itu dengan lahapnya.
“Ayam panggang sepuluh ekor! Wah, sedapnya!” tiba-tiba Buyung pula melaung dari arah timur. Serta-merta meleleh air liurnya. Seleranya terbuka. Dengan pantas dia mengambil ayam yang paling besar lalu makan dengan gelojoh.
Melihatkan Kendi dan Buyung telah mendapat makanan, Awang semakin pantas meredah semak. Ketika Awang menyelak daun kelembak, dia ternampak sepinggan nasi berlauk yang terhidang. Awang tersenyum dan mengucapkan syukur kerana mendapat rezeki. Dia makan dengan tenang.
Selepas makan, Awang rasa segar. Dia berehat semula di bawah pokok ara sambil memerhatikan Kendi dan Buyung yang sedang meratah makanannya.
“Urgh!” Kendi sendawa. Perutnya amat kenyang. Nasi di dalam kawah masih banyak. Dia tidak mampu menghabiskan nasi itu. “Kenapa kamu tidak habiskan kami?” tiba-tiba nasi di dalam kawah itu bertanya kepada Kendi.
“Aku sudah kenyang,” jawab Kendi.
“Bukankah kamu telah berjanji akan menghabiskan kami sekawah?” Tanya nasi itu lagi.
“Tapi perut aku sudah kenyang,” jawab Kendi.
Tiba-tiba nasi itu berkumpul dan mengejar Kendi. Kawah itu menyerkup kepala Kendi dan nasi-nasi itu menggigit tubuh Kendi. Kendi menjerit meminta tolong.
Buyung juga kekenyangan. Dia cuma dapat menghabiskan seekor ayam sahaja. Sembilan ekor ayam lagi terbiar di tempat pemanggang. Oleh kerana terlalu banyak makan, tekaknya berasa loya. Melihat baki ayam-ayam panggang itu, dia berasa muak dan hendak muntah. Buyung segera mencampakkan ayam-ayam itu ke dalam semak.
“Kenapa kamu tidak habiskan kami?” tiba-tiba tanya ayam-ayam panggang itu.
“Aku sudah kenyang,” kata Buyung. “Makan sekor pun perut aku sudah muak,” katanya lagi.
Tiba-tiba muncul sembilan ekor ayam jantan dari celah-celah semak di kawasan itu. Mereka meluru ke arah Buyung.
Ayam-ayam itu mematuk dan menggeletek tubuh Buyung. Buyung melompat-lompat sambil meminta tolong.
Awang bagaikan bermimpi melihat gelagat rakan-rakannya. Kendi terpekik dan terlolong. Buyung pula melompat-lompat dan berguling-guling di atas tanah. Awang tidak dapat berbuat apa-apa. Dia seperti terpukau melihat kejadian itu.
Akhirnya Kendi dan Buyung mati. Tinggallah Awang seorang diri. Dia meneruskan semula perjalanannya.
Sebelum berangkat, Awang mengambil pinggan nasi yang telah bersih. Sebutir nasi pun tidak berbaki di dalam pinggan itu.
“Pinggan ini akan mengingatkan aku supaya jangan sombong dan tamak. Makan biarlah berpada-pada dan tidak membazir,” kata Awang lalu beredar meninggalkan tempat itu.
15. Hikayat Abu Nawas: Pesan Dari Hakim
Tersebutlah perkataan Abu Nawas dengan bapanya diam di negeri Baghdad. Adapun Abu Nawas itu sangat cerdik dan terlebih bijak daripada orang banyak. Bapanya seorang Kadi. Sekali peristiwa, bapanya itu sakit dan hampir mati. Ia meminta Abu Nawas mencium telinganya. Telinga sebelah kanannya sangat harum baunya, sedangkan telinga kiri sangat busuk . Bapanya menerangkan bahwa semasa membicarakan perkara dua orang, dia pernah mendengar aduan seorang dan tiada mendengar adua yang lain. Itulah sebabnya sebelah telinga menjadi busuk.
Ditambahnya juga kalau anaknya tiada mau menjadi kadi, dia harus mencari helah melepaskan diri. Hatta bapa Abu Nawas pun berpulanglah dan Sultan Harun Ar-rasyid mencari Abu Nawas untuk menggantikan bapanya. Maka Abu Nawas pun membuat gila dan tidak tentu kelakuannya. Pada suatu hati, Abu Nawas berkata kepada seorang yang dekatnya, ”Hai, gembala kuda, pergilah engkau memberi makan rumput kuda itu.” Maka si polan itu pergi menghadap sultan dan meminta dijadikan kadi.
Permintaan dikabulkan dan si polan itu tetap menjadi kadi dalam negeri. Akan Abu Nawas itu, pekerjaannya tiap hari ialah mengajar kitab pada orang negeri itu. Pada suatu malam, seorang anak Mesir yang berdagang dalam negeri Baghdad bermimpi menikah dengan anak perempuan kadi yang baru itu. Tatkala kadi itu mendengar mimpi anak Mesir itu, ia meminta anak Mesir itu membayar maharnya. Ketika anak Mesir itu menolak, segala hartanya dirampas dan ia mengadukan halnya kepada Abu Nawas. Abu Nawas lalu menyuruh murid-muridnya memecahkan rumah kadi itu.
Tatkala dihadapkan ke depan Sultan, Abu Nawas berkata bahwa dia bermimpi kadi itu menyuruhnya berbuat begitu. Dan memakai mimpi sebagai hukum itu sebenarnya adalah hokum kadi itu sendiri. Dengan demikian terbukalah perbuatan kadi yang zalim itu. Kadi itu lalu dihukum oleh Sultan. Kemudian anak Mesir itu pun diamlah di dalam negeri itu. Telah sampai musim, ia pun kembali ke negerinya.
Seorang kadi mempunyai seorang anak bernama Abu Nawas menjelang kematiannya ia memanggil anak-anaknya dan disuruh mencium telinganya. Jika telinga kanan harum baunya, itu pertanda akan baik. Akan tetapi jika yang harum telinga kiri, berarti bahwa sepeninggalnya akan terjadi hal-hal yang tidak baik. Ternyata yang harum yang kiri.
Sesudah ayahnya meninggal, Abu Nawas pura-pura menjadi gila, sehingga ia tidak diangkat menggantikan ayahnya sebagai kadi. Yang diangkat menggantikannya ialah Lukman. Seorang pedagang Mesir bermimpi sebagai berikut: anak perempuan kadi baru kawin gelap, akan tetapi tanpa emas kawin sama sekali kecuali berupa lelucon-lelucon, sehingga diusir bersama-sama suaminya oleh ayahnya, lalu mengembara ke Mesir, dan dengan demikian kehormatan kadi baru itu pulih kembali.
16. Hikayat Patani
Inilah suatu kisah yang diceritakan oleh orang tua-tua, asal raja yang berbuat negeri Patani Darussalam itu. Adapun raja di Kota Maligai itu namanya Paya Tu Kerub Mahajana. Maka Paya Tu Kerub Mahajana pun beranak seorang laki-laki, maka dinamai anakanda baginda itu Paya Tu Antara. Hatta berapa lamanya maka Paya Tu Kerub Mahajana pun matilah. Syahdan maka Paya Tu Antara pun kerajaanlah menggantikan ayahanda baginda itu. Ia menamai dirinya Paya Tu Naqpa. Selama Paya Tu Naqpa kerajaan itu sentiasa ia pergi berburu.
Pada suatu hari Paya Tu Naqpa pun duduk diatas takhta kerajaannya dihadap oleh segala menteri pegawai hulubalang dan rakyat sekalian. Arkian maka titah baginda:
“Aku dengar khabarnya perburuan sebelah tepi laut itu terlalu banyak konon.” Maka sembah segala menteri:
“Daulat Tuanku, sungguhlah seperti titah Duli Yang Mahamulia itu, patik dengar pun demikian juga.” Maka titah Paya Tu Naqpa:
“Jikalau demikian kerahkanlah segala rakyat kita. Esok hari kita hendak pergi berburu ke tepi laut itu.” Maka sembah segala menteri hulubalangnya:
“Daulat Tuanku, mana titah Duli Yang Mahamulia patik junjung.” Arkian setelah datanglah pada keesokan harinya, maka baginda pun berangkatlah dengan segala menteri hulubalangnya diiringkan oleh rakyat sekalian.
Setelah sampai pada tempat berburu itu, maka sekalian rakyat pun berhentilah dan kemah pun didirikan oranglah. Maka baginda pun turunlah dari atas gajahnya semayam didalam kemah dihadap oleh segala menteri hulubalang rakyat sekalian. Maka baginda pun menitahkan orang pergi melihat bekas rusa itu. Hatta setelah orang itu datang menghadap baginda maka sembahnya: “Daulat Tuanku, pada hutan sebelah tepi laut ini terlalu banyak bekasnya.” Maka titah baginda: “Baiklah esok pagi-pagi kita berburu”
Maka setelah keesokan harinya maka jaring dan jerat pun ditahan oranglah. Maka segala rakyat pun masuklah ke dalam hutan itu mengalan-alan segala perburuan itu dari pagi-pagi hingga datang mengelincir matahari, seekor perburuan tiada diperoleh. Maka baginda pun amat hairanlah serta menitahkan menyuruh melepaskan anjing perburuan baginda sendiri itu. Maka anjing itu pun dilepaskan oranglah.
Hatta ada sekira-kira dua jam lamanya maka berbunyilah suara anjing itu menyalak. Maka baginda pun segera mendapatkan suara anjing itu. Setelah baginda datang kepada suatu serokan tasik itu, maka baginda pun bertemulah dengan segala orang yang menurut anjing itu. Maka titah baginda: “Apa yang disalak oleh anjing itu?” Maka sembah mereka sekalian itu: “Daulat Tuanku, patik mohonkan ampun dan karunia. Ada seekor pelanduk putih, besarnya seperti kambing, warna tubuhnya gilang gemilang. Itulah yang dihambat oleh anjing itu. Maka pelanduk itu pun lenyaplah pada pantai ini.”
Setelah baginda mendengar sembah orang itu, maka baginda pun berangkat berjalan kepada tempat itu. Maka baginda pun bertemu dengan sebuah rumah orang tua laki-bini duduk merawa dan menjerat. Maka titah baginda suruh bertanya kepada orang tua itu, dari mana datangnya maka ia duduk kemari ini dan orang mana asalnya. Maka hamba raja itu pun menjunjungkan titah baginda kepada orang tua itu. Maka sembah orang tua itu: “Daulat Tuanku, adapun patik ini hamba juga pada kebawah Duli Yang Mahamulia, karena asal patik ini duduk di Kota Maligai. Maka pada masa Paduka Nenda berangkat pergi berbuat negeri ke Ayutia, maka patik pun dikerah orang pergi mengiringkan Duli Paduka Nenda berangkat itu.
Setelah Paduka Nenda sampai kepada tempat ini, maka patik pun kedatangan penyakit, maka patik pun ditinggalkan oranglah pada tempat ini.” Maka titah baginda: “Apa nama engkau?”. Maka sembah orang tua itu: “Nama patik Encik Tani.” Setelah sudah baginda mendengar sembah orang tua itu, maka baginda pun kembalilah pada kemahnya.Dan pada malam itu baginda pun berbicara dengan segala menteri hulubalangnya hendak berbuat negeri pada tempat pelanduk putih itu.
Setelah keesokan harinya maka segala menteri hulubalang pun menyuruh orang mudik ke Kota Maligai dan ke Lancang mengerahkan segala rakyat hilir berbuat negeri itu. Setelah sudah segala menteri hulubalang dititahkah oleh baginda masingmasing dengan ketumbukannya, maka baginda pun berangkat kembali ke Kota Maligai. Hatta antara dua bulan lamanya, maka negeri itu pun sudahlah.
Maka baginda pun pindah hilir duduk pada negeri yang diperbuat itu, dan negeri itu pun dinamakannya Patani Darussalam (negeri yang sejahtera). Arkian pangkalan yang di tempat pelanduk putih lenyap itu (dan pangkalannya itu) pada Pintu Gajah ke hulu Jambatan Kedi, (itulah. Dan) pangkalan itulah tempat Encik Tani naik turun merawa dan menjerat itu. Syahdan kebanyakan kata orang nama negeri itu mengikut nama orang yang merawa itulah. Bahwa sesungguhnya nama negeri itu mengikut sembah orang mengatakan pelanduk lenyap itu. Demikianlah hikayatnya.
17. Hikayat Seorang Kakek dan Seekor Ular
Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani. Ia dikenal takut kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qurâ’an pagi dan petang. Selain dikenal alim dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer. Ia punya banyak hal yang menyebabkannya tetap mampu menjaga potensi itu.
Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap rokok dengan nikmatnya (sesuai kebiasaan masa itu). Tangan kanannya memegang tasbih yang senantiasa berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya, ular itu sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-laki yang (kemudian datang menyusulnya) membawa tongkat.
“Kek,” panggil ular itu benar-benar memelas, “kakek kan terkenal suka menolong. Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang mengejar saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil menangkap saya. Tentunya, kamu baik sekali jika mau membuka mulut lebar-lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya. Demi Allah dan demi ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini.”
“Ulangi sumpahmu sekali lagi,” pinta si kakek. “Takutnya, setelah mulutku kubuka, kamu masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan. Setelah selamat, jangan-jangan kamu malah mencelakai saya.”
Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi. Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sekira-kira dapat untuk ular itu masuk.
Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangan. Ia menanyakan keberadaan ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat ular yang ditanyakannya dan tak tahu di mana ular itu berada. Tak berhasil menemukan apa yang dicarinya, pria itu pun pergi.
Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: “Kini, kamu aman. Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang.”
Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar: “Hmm, kamu mengira sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana orang jahat dan mana orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu tak tahu apa-apa. Kamu bahkan tak bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda mati.”
“Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan, terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-duanya sama-sama membuatmu sekarat.” Kontan ular itu mengancam.
“La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah aku telah menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik.” Sejurus kemudian kakek itu tampak terpaku, shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya, perbuatan baiknya berbuah penyesalan.
Kakek itu akhirnya kembali bersuara, “Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku ingin mati di sana supaya jauh dari keluargaku.”
Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap, “Oh, andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan menyelamatkanku.”
Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular: “Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku seperti yang kamu inginkan.”
Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya:
“Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah sentiasa membantumu.”
Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular itu telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu dari bahaya musuh yang mengancam hidupnya. Kakek itu girang bukan main sehingga berujar, “Suara siapakah yang tadi saya dengar sehingga saya dapat selamat?”
Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku kebajikan dan berhati mulia. Suara itu berujar, “Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang menyelamatkanmu.”
Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya.”
Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan:
“Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia pasti dapat mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena prilakunya yang jahat.”
Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan selamat tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya kami karena berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam menyelamatkan kami dari lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya.
Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku mulai menenggelamkan diri dalam lautan maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Aku menjadi suka menghambur-hamburkan uang.
Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu mengadukanku kepada kepala kampung. Kepala kampung memanggilku dan menanyakan dari mana asal kekayaanku. Dia juga memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar sebagai pajak, tetapi aku menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya seraya menebar ancaman.
Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak seberapa, suatu kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya mendekam di penjara ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun saya lewatkan kecuali saya meminta kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan langit begitu tinggi agar segera melepaskan saya dari penjara yang gelap ini dan memulangkan saya pada isteri dan anak-anak saya.
Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda Rasyid, Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan.
Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun memerintahkan agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian yang telah ia derita dan kehinaan yang dialaminya. Ia pun memanjatkan doa dengan khusyu kepada Allah, satu-satunya Dzat yang disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa bermarwah dan berbahagia, selama matahari masih terbit dan selama burung masih berkicau.
Para napi di penjara Baghdad semakin banyak mendoakan agar Khalifah berumur panjang setelah Khalifah meninggalkan harta yang cukup banyak buat mereka.
Khalifah lalu kembali ke istananya yang terletak di pinggir sungai Tigris. Di istana telah menunggu siti Zubaidah. Khalifah lalu menceritakan apa yang sudah dilakukannya, Zubaidah pun senang mendengarnya. Ia mengucapkan terima kasih dan memuji Khalifah karena telah berbuat baik. Zubaidah juga mendoakan agar Khalifah panjang umur.
18. Hikayat Perkara Sibungkuk dan Sipanjang
Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit sebagai ternyata dari contoh yang di bawah ini :
Hatta maka berapa lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang laki-istri berjalan. Maka sampailah ia kepada suatu sungai. Maka dicaharinya perahu hendak menyeberang, tiada dapat perahu itu. Maka ditantinya 1) kalau-kalau ada orang lalu berperahu. Itu pun tiada juga ada lalu perahu orang. Maka ia pun berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya. Sebermula adapun istri orang itu terlalu baik parasnya. Syahdan maka akan suami perempuan itu sudah tua, lagi bungkuk belakangnya. Maka pada sangka orang tua itu, air sungai itu dalam juga. Katanya, “Apa upayaku hendak menyeberang sungai ini?”
Maka ada pula seorang Bedawi duduk di seberang sana sungai itu. Maka kata orang itu, “Hai tuan hamba, seberangkan apalah kiranya hamba kedua ini, karena hamba tiada dapat berenang; sungai ini tidak hamba tahu dalam dangkalnya.” Setelah didengar oleh Bedawi kata orang tua bungkuk itu dan serta dilihatnya perempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di dalam hatinya, “Untunglah sekali ini!”
Maka Bedawi itu pun turunlah ia ke dalam sungai itu merendahkan dirinya, hingga lehernya juga ia berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang tua itu, “Tuan hamba seberangkan apalah 2) hamba kedua ini. Maka kata Bedawi itu, “Sebagaimana 3) hamba hendak bawa tuan hamba kedua ini? Melainkan seorang juga dahulu maka boleh, karena air ini dalam.”
Maka kata orang tua itu kepada istrinya, “Pergilah diri dahulu.” Setelah itu maka turunlah perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu. Arkian maka kata Bedawi itu, “Berilah barang-barang bekal-bekal tuan hamba dahulu, hamba seberangkan.” Maka diberi oleh perempuan itu segala bekal-bekal itu. Setelah sudah maka dibawanyalah perempuan itu diseberangkan oleh Bedawi itu. Syahdan maka pura-pura diperdalamnya air itu, supaya dikata 4) oleh si Bungkuk air itu dalam. Maka sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi itu kepada perempuan itu, “Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan mudanya. Mengapa maka tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan hamba buangkan orang bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba ambit, hamba jadikan istri hamba.” Maka berbagai-bagailah katanya akan perempuan itu.
Maka kata perempuan itu kepadanya, “Baiklah, hamba turutlah kata tuan hamba itu.”
Maka apabila sampailah ia ke seberang sungai itu, maka keduanya pun mandilah, setelah sudah maka makanlah ia keduanya segala perbekalan itu. Maka segala kelakuan itu semuanya dilihat oleh orang tua bungkuk itu dan segala hal perempuan itu dengan Bedawi itu.
Kalakian maka heranlah orang tua itu. Setelah sudah ia makan, maka ia pun berjalanlah keduanya. Setelah dilihat oleh orang tua itu akan Bedawi dengan istrinya berjalan, maka ia pun berkata-kata dalam hatinya, “Daripada hidup melihat hal yang demikian ini, baiklah aku mati.”
Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai itu. Maka heranlah ia, karena dilihatnya sungai itu aimya tiada dalam, maka mengarunglah ia ke seberang lalu diikutnya Bedawi itu. Dengan hal yang demikian itu maka sampailah ia kepada dusun tempat Masyhudulhakk itu.
Maka orang tua itu pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka disuruh oleh Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan perempuan itu. Maka kata Masyhudulhakk, “Istri siapa perempuan ini?”
Maka kata Bedawi itu, “Istri hamba perempuan ini. Dari kecil lagi ibu hamba pinangkan; sudah besar dinikahkan dengan hamba.”
Maka kata orang tua itu, “Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba.”
Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah. Maka orang pun berhimpun, datang melihat hal mereka itu ketiga. Maka bertanyalah Masyhudulhakk kepada perempuan itu, “Berkata benarlah engkau, siapa suamimu antara dua orang laki-laki ini?”
Maka kata perempuan celaka itu, “Si Panjang inilah suami hamba.”
Maka pikirlah 5) Masyhudulhakk, “Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.
Maka diperjauhkannyalah laki-laki itu keduanya. Arkian maka diperiksa pula oleh Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu, “Si Panjang itulah suami hamba.”
Maka kata Masyhudulhakk, “Jika sungguh ia suamimu siapa mentuamu laki-laki dan siapa mentuamu perempuan dan di mana tempat duduknya?”
Maka tiada terjawab oleh perempuan celaka itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk perjauhkan. Setelah itu maka dibawa pula si Panjang itu. Maka kata Masyhudulhakk, “Berkata benarlah engkau ini. Sungguhkah perempuan itu istrimu?”
Maka kata Bedawi itu, “Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula perempuan itu sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya.”
Syahdan maka Masyhudulhakk pun tertawa, seraya berkata, “Jika sungguh istrimu perempuan ini, siapa nama mentuamu laki-laki dan mentuamu perempuan, dan di mana kampung tempat ia duduk?”
Maka tiadalah terjawab oleh laki-laki itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk jauhkan laki-laki Bedawi itu. Setelah itu maka dipanggilnya pula orang tua itu. Maka kata Masyhudulhakk, “Hai orang tua, sungguhlah perempuan itu istrimu sebenar-benamya?”
Maka kata orang tua itu, “Daripada mula awalnya.” Kemudian maka dikatakannya, siapa mentuanya laki-laki dan perempuan dan di mana tempat duduknya
Maka Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu dan kebenaran orang tua itu. Maka hendaklah disakiti oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga perempuan celaka itu. Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali. Kemudian maka disuruhnya tobat Bedawi itu, jangan lagi ia berbuat pekerjaan demikian itu.
Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.
19. HIKAYAT JAYA LENGKARA
Tersebut cerita seorang raja yang terlalu besar kerajaannya, Saeful Muluk namanya, Ajam Saukat nama kerajaanya. Adapun raja ini telah berkawin dengan Putri Sukanda Rum. Tetapi oleh karena permaisurinya tidak beranak, ia berkawin dengan Putri Sukanda baying-bayang. Hatta berapa lamanya, Puteri Sukanda bayang-bayangpun beranak anak kembar yang diberi nama Makdam dan Makdim. Permaisuri takut kehilangan kasih sayang raja sama sekali, lalu berdoa meminta anak. Doanya dikabulkan. Hatta berapa lamanya, ia pun beranaklah seorang anak laki-laki yang terlalu baik rupanya. Anak itu ialah Jaya Lengkara. Adapun semasa Jaya Langkara jadi itu, negeri pun terlalu makmur, makanan murah dan banyak pedagang yang datang pergi. Segala ahli nujum, hulubalang dan rakyat sekalian juga mengucap syukur kepada Alloh.
Kemudian raja menyuruh anaknya yang lain ,Makdam dan Makdim pergi bertanyakan nasib Jaya Langkara pada seorang kadi. Kadi itu meramalkan bahwa Jaya Langkara akan menjadi raja besar yang terlalu banyak sakti dan segala raja-raja besar tiada yang dapat melawannya dan segala margastua juga tunduk kepadanya dengan khidmat. Mendengar ramalan yang demikian, Makdam dan Makdim menjadi sakit hatinya. Mereka berdusta kepada ayahanda mereka dengan mengatakan, jikalau Jaya Langkara ada dalam negeri, negeri akan binasa, beras padi juga akan menjadi mahal. Raja termakan fitnah ini dan membuang Jaya Langkara dengan bundayanya dari negeri.
Naga guna menyelamatkan Jaya Langkara. Bersama-sama mereka akan pergi ke negeri Peringgi. Jaya Langkara menewaskan seorang ajar-ajar dan memaksanya masuk islam. Dengan bantuan raja jin yang sudah masuk islam, ia membebaskan Makdam dan Makdim dari penjara. Ratna Kasina dan Ratna Dewi dikawinkan dengan Makdam.Bunga Kumkuma putih juga sudah diperolehnya.
Mangkubumi mesir coba mengambil bunga itu dari jaya langkara dan ditewaskan. Jaya Langkara mengampuni dia, bila mendengar sebab-sebab ia ingin mendapat kan bunga itu. Jaya Langkara pergi ke Mesir dan memohon supaya puteri Ratna Dewi dikawinkan dengan Makdim. Permaohonan nya diterima dengan baik oleh raja Mesir. Bersama –sama dengan Ratna Kasina, Jaya Langkara berangkat ke negeri Ajam Saukat dan menyembuhkan penyakit raja yang tak lain adalah ayahnya. Selang berapa lamanya, Jaya Langkara kembali ke hutan untuk mencari bundanya. Ratna Kasina menyusul tidak lama kemudian, karena tidak tahan di ganggu oleh Makdam dan Makdim yang sudah ke negeri Ajam Saukat. Karena berahi mereka akan putri Ratna Kasina, Makdam dan Makdim coba membunuh Jaya Langkara. Naga guna menyelamatkan dan membawanya bersama-sama dengan Puteri Ratna Kasina ke negeri Madinah. Raja Madinah sangat bergembira. Jaya Langkara dikawinkan dengan puteri Ratna Kasina. Raja Madinah sendiri juga berkawin dengan bunda jaya langkara. Hatta berapa lamanya. Jaya Langkara pun menjadi raja, negeri Madinah pun terlalu makmur dan besar kerajaannya. Segala raja besar pun menghantar upeti ke madinah setiap tahun.
Nah itulah 18+ contoh hikayat yang dapat kami berikan. Semoga membantu!